Edisi: 24/th. III/1437
H
Perkembangan
teknologi yang
semakinpesat
tak
dipungkiri
dapat
mempermudah
pekerjaan
manusia.
Pemanfaatan smartphone
bagi
mahasiswa
sangatmembantu
dalam proses
perkuliahan, namun
tak
jarang
juga
digunakan
untuk
hal
negatif. Salah satu contohnya
adalah
menyontek.
Telah menjadi rahasia
umum bahwa demi mendapatkan nilai yang memuaskan saat ujian, kerap kali para
mahasiswa menghalalkan segala cara seperti menyontek ujian teman, membawa
pelampung dengan dalih “agar tak tenggelam”, dan lain sebagainya. Namun gaya
menyontek ini sepertinya telah terlihat “kuno”. Saat ini tak jarang kita
menyaksikan mahasiswa di sekitar kita dengan
entengnya memotret setiap lembaran pada buku catatan dengan alasan agar lebih
mudah dan tidak ketahuan saat menyontek.
Aplikasi messenger
maupun media sosial lainnya juga ternyata menjadi sarana yang sangat baik dalam
menyontek massal. Biasanya salah satu mahasiswa yang “cukup pintar” dan mampu menyelesaikan
soal ujian dengan lebih cepat, dengan sigap memotret lembar jawaban dan menjadikannya
Display Picture pada akun miliknya. Alasannya sederhana, agar teman-teman
yang lain juga bisa melihatnya.
Apa penyebab sehingga mahasiswa
dengan mudahnya melakukan aktifitas ini ?
Ø
Hilangnya rasa
takutakanpengawasan Allah
Faktor utama yang
menyebabkan aktivitas menyontek menjadi tradisi di kalangan kaum intelektual ketika
musim ujian tiba adalah dangkalnya aqidah para mahasiswa Muslim sehingga tidak lagi
menganggap menyontek sebagai perbuatan curang dan berdosa. Seolah tak ada beban
ketika melakukan aktivitas ini, padahal Allah
senantiasa mengawasi kita.
Ø
Orientasi Nilai, Abaikan Kualitas Diri
Ujian dimaksudkan untuk mengevaluasi
pemahaman mahasiswa
terhadap materi yang diajarkan. Hasil atau nilai ujian ini dijadikan
indicator pencapaian belajar seorang mahasiswa. Namun demi mendapatkan nilai yang
memuaskan, cara haram pun ditempuh, termasuk melakukan kecurangan (menyontek). Ilmu gak nambah, dosa
berlimpah.
Ø
Paradigma Solidaritas
yang Keliru
Atas nama solidaritas,
kegiatan contek menyontek saat ujian berlangsung menjadi hal yang lumrah dilakukan.
Teman yang enggan memberikan contekan akan dipandang tidak setia kawan dan egois.
Sehingga muncullah rasa bersalah jika tidak memberikan jawaban kepada teman saat
ujian. Solidaritas yang ada pun akhirnya
hanya berasaskan pada nilai dan manfaat saja.
Ø
Kontrol (Pengawasan) yang KurangKetat
Kurangnya pengawasan
yang tegas dari pihak kampus dan dosen juga semakin menumbuh-suburkan kebiasaan
menyontek ini. Tak jarang pengawas ujiannya yang biasanya adalah senior, asisten atau pegawai melonggarkan pengawasan
bahkan membantu para mahasiswa melakukan kecurangan.
Ø
Penerapansistempendidikansekular
yang memisahkan agama darikehidupan
Pendidikan hari ini dibangun
atas pemisahan agama dari kehidupan, sehingga akan lebih mengutamakan pengetahuan
akademik berorientasi nilai materi, minus pendidikan akhlaq dan kepribadian islam.
Jadi wajar pola pikir yang terbentuk di kalangan para mahasiswa adalah materialistis,
termasuk menjadikan nilai materi sebagai standar dan tolok ukur perbuatan.
Indeks Prestasi Kumulatif tinggi jadi standar
kecerdasan tanpa memperhatikan cara memperolehnya.
Sebagai seorang mahasiswa muslim,
bagaimana memandang permasalahan ini?
Islam menekankan pembinaan ketaqwaan individu melalui pendidikan aqidah
dan kepribadian islam,bukan sekedar ilmu pengetahuan saja, sehingga individu
akan senantiasa mengikatkan dirinya dengan aturan Allah, sehingga mahasiswa
muslim akan menyadari bahwa menyontek merupakan sikap curang yang sangat
dibenci oleh Allah.
Dalam
kasus ini keluarga berperan penting dalam memberikan pendidikan dasar tentang aqidah dan
pembentukan kepribadian islam. Lingkungan
yang terdiri dari masyarakat dan pihak kampus berperan melengkapi pendidikan
dasar yang berasal dari keluarga. Masyarakat harus mampu menjamin standar dan tolok
ukur yang berlaku sesuai dengan nilai islam. Pihak kampus juga sebaiknya tidak segan
memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran akademik yang dilakukan mahasiswa.
Terakhir yang berperan sangat besar adalah negara.
Negara berwenang penuh mengarahkan sistem pendidikan (asas dan tujuan pendidikan)
yang islami bagi generasi, termasuk bertanggung jawab terhadap kualitas generasi,
apakah akan menghasilkan generasi pembebek yang tukang nyontek atau generasi visioner
pemimpin peradaban.
Pengaturan
kehidupan yang seperti ini hanya ada dalam negeri yang menerapkan sistem Islam
dalam seluruh aspek kehidupan. Hal ini terbukti
di abad pertengahan ketika islam dijadikan sebagai aturan yang
melingkupi seluruh aspek kehidupan, termasuk di bidang pendidikan mampu melahirkan
ilmuwan- ilmuan visioner peletak dasari lmu pengetahuan modern seperti Al
Khawarismi, Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dan sederet nama lain yang terkenal sampai
di peradaban barat.
Oleh
karena itu mahasiswa sebagai agen perubahan semestinya turut melibatkan diri untuk
menegakkan institusi yang menerapkan Islam secara sempurna untuk mewujudkan pemuda
dan kaum intelektual muslim sebagai pemimpin peradaban. Wallaahu
‘alambishshawab.
0 komentar:
Posting Komentar