Tahun
2014 disebut-sebut sebagai “tahun politik” khususnya di Indonesia, karena
setelah 5 tahun berlalu kembali Indonesia menyelenggarakan pemilu yang akan
dilaksanakan di bulan April mendatang. Kini Indonesia dari kota besar hingga di
pelosok desa disulap menjadi negara seribu wajah, dimana setiap sudut dan sisi
jalan dihiasi oleh poster/ baliho para kandidat caleg dan capres beserta dengan
slogam andalannya. Bukan hanya itu, bahkan di media massa dan online tak luput
dari kampanye para kandidat. Bantuan-bantuan tengah gencarnya dialirkan kepada
masyarakat dengan berharap meminta dukungan, pemandangan seperti ini juga
terjadi di dunia kampus, dimana mahasiswa di berikan beasiswa atau sejenisnya.
Lagi-lagi
mahasiswa, sedikit berbagi pendapat berdasarkan fakta yang terindra selama kurun
waktu beberapa tahun ini yakni yang membedakan zaman sekarang dengan zaman orde
baru hanya satu, dulu media masa dibungkam habis-habisan tetapi di era 2000
sampai sekarang bukan media masa yang dibungkam tapi MAHASISWA, dengan memberi
bantuan BIDIK MISI, beasiswa, target dan harus lulus 4 tahun, karena
orang" picik tahu hanya MAHASISWA lah yg bisa menghancurkan kekuasaan
politik mereka. Hal ini semakin membuat kita yakin bahwa peran mahasiswa
sangatlah diperlukan dalam melakukan perubahan yang hakiki di era kapitalis
ini, sesuai dengan perannya sebagai “agent of change”. Namun sepertinya julukan
tersebut hanya dijadikan sebagai suatu semboyan yang mampu meninggikan seorang
mahasiswa ditengah masyarakat, tanpa ada perwujudan nyata. Meskipun demikian
kebanyakan mahasiswa yang enggan untuk terlibat dengan aktivitas politik,
baginya cukup untuk belajar dengan rajin dan siap untuk mengabdi kepada
masyarakat kelak. Namun lagi-lagi
perubahan yang dilakukannya hanya
bersifat parsial semata, padahal masalah yang terjadi dalam negara ini adalah
masalah yang besar dan butuh perubahan yang besar pula.
Mahasiswa
pada dasarnya sadar atau tidak mereka sudah terlibat dalam aktivitas politik.
Politik, bagi masyarakat dipandang negatif yakni upaya untuk meraih kekuasaan.
Namun pada hakikatnya politik adalah aktivitas mengurusi urusan umat. Mahasiswa
baik itu dari jurusan pendidikan, ekonomi, kesehatan dan sebagainya diakhir
studinya juga pasti menginginkan terjun langsung ke masyarakat, dengan kata
lain mengabdi kepada masyarakat. Tentunya ini juga merupakan aktivitas politik
jika kita kembali kepada makna politik yang sebenarnya.
Menyikapi
tahun pemilu mahasiswa terkesan apatis dalam hal ini, sikap pragmatisnya seakan
dijadikan peluang oleh para elit politik untuk memperbanyak dukungan suara di
ranah pemilu mendatang. Hanya dengan sedikit pendekatan baik berupa pencitraan
maupun sedikit bantuan berupa bantuan finansial dalam ranah pendidikan seperti
yang dipaparkan sebelumnya. Meski tidak semua mahasiswa demikian namun masih
saja sikap pragmatis tersebut mendominasi wajah mahasiswa di tahun politik ini.
Bagaimana
seharusnya mahasiswa menyikapi pemilu dengan perannya sebagai “agent of
change?”
Atmosfir
panasnya pemilihan 2014 ditambah dengan besarnya angka golput tiap priode yakni
mencapai 40%, jumlah suara sah mencapai 20.115.423 dan suara tidak sah mencapai
598.356 sehingga total jumlah suara sah dan tidak sah adalah 20.713.799,
artinya 63% saja yang ikut pemilu dan 37% yang golput. (Kompas.com/2014). Hal
ini membuat parpol baik islam atau bukan memikirkan bagaimana cara agar partai
mereka gol dibabak pemilihan nanti. Mengapa parpol tetap semangat dalam
mengkampanyekan partainya padahal sudah cukup banyak bukti kebobrokan partainya
yang korup atau keburukan lainnya yang membuat rakyat gerah dengan kebijakan
yang mereka buat. Katanya dari rakyat untuk rakyat, tapi tetap saja
menyengsarakan rakyat dengan kebijakannya. Penyebabnya adalah karena gaji
anggota DPR yang bisa membuat seseorang hidup mewah, serba berkecukupan. Bahkan
meski tidak pernah masuk kerja pun masih tetap menerima total gaji besarnya
antara Rp. 51,5 juta sampai dengan 54,9 juta tiap bulannya. (Jakarta-kabarNet).
Mengenai besaran gaji dan hak-hak anggota DPR untuk periode 2009-2015 yang
diatur sesuai Surat Edaran Setjen DPR RI No. KU.00/9414/DPR RI/XII/2010 tentang
gaji pokok dan gaji tunjangan anggota DPR tertulis sebagai berikut :
1. Gaji
pokok anggota DPR Rp. 4,2 juta
2. Tunjangan
jabatan Rp. 9,7 juta
3. Tunjangan
istri Rp. 420 ribu
4. Tunjangan
anak Rp. 168 ribu
5. Tunjangan
beras Rp. 198 ribu
6. Tunjangan
pajak penghasilan Rp. 1,7 juta
7. Tunjangan
sidang Rp. 2 juta
Dari
gaji pokok dan tunjangan dasar anggota DPR diatas, maka uang yang dapat dibawa
pulang kerumah mencapai Rp. 16 juta per bulan, ditambah lagi dana yang besar
untuk jalan-jalan keluar negeri.
Mengetahui fakta tentang hidup mewah yang mereka dapatkan dari gaji yang
sangat besar nominalnya, namun tetap saja mereka masih juga korupsi. Ini
disebabkan karena setiap orang yang berkomitmen untuk menjadi capres atau yang
lainnya wajib mengikuti permainan pemilu dalam sistem demokrasi. Menurut
pengamat politik, charta Politika ada tiga faktor yang memulai semua ini
menjadi kacau yakni:
Dalam sistem demokrasi mewajibkan setiap calon untuk dipilih secara langsung, dengan demikian tiap parpol harus rela mengeluarkan dana yang besar untuk mengkampanyekan dirinya di berbagai daerah agar rakyat mengenalnya. Tentu dana yang diperlukan tidaklah sedikit, bukan?
Dalam sistem demokrasi mewajibkan setiap calon untuk dipilih secara langsung, dengan demikian tiap parpol harus rela mengeluarkan dana yang besar untuk mengkampanyekan dirinya di berbagai daerah agar rakyat mengenalnya. Tentu dana yang diperlukan tidaklah sedikit, bukan?
2.
Munculnya iklan di TV yang menjadi alat efektif untuk mempengaruhi pemilih dan jangkauannya luas. Butuh biaya yang besar juga bukan?
Munculnya iklan di TV yang menjadi alat efektif untuk mempengaruhi pemilih dan jangkauannya luas. Butuh biaya yang besar juga bukan?
3.
Pencitraan personal yang bertujuan menarik hati rakyat agar memilihnya dengan cara membagikan bantuan entah itu berupa uang atau yang lainnya. Apalagi menjelang pemilu banyak bencana alam yang menimpa tanah air, tentu ini menjadi peluang bagi mereka untuk menggencarkan aksi pencitraan personalnya demi menarik simpati rakyat.
Pencitraan personal yang bertujuan menarik hati rakyat agar memilihnya dengan cara membagikan bantuan entah itu berupa uang atau yang lainnya. Apalagi menjelang pemilu banyak bencana alam yang menimpa tanah air, tentu ini menjadi peluang bagi mereka untuk menggencarkan aksi pencitraan personalnya demi menarik simpati rakyat.
Pertanyaannya.
Darimana dana itu diperoleh?.....
Ternyata
dana dihabiskan mulai dari 300 milliar bahkan bisa lebih dari itu. Pertanyaan
yang simpel, siapa di balik tim sukses para parpol ini? Baik parpol islam
maupun bukan? Dana tersebut berasal dari pemilik modal (pengusaha), baik itu
dari pihak asing. Ada perusahaan rokok, miras, tambang, perusahaan kondom,
dll. Peran pengusaha ini sangat besar,
ia tim sukses yang paling besar jasanya. Maka ketika partai yang bekerja sama
dengan perusahaan tertentu ia berhasil menjadi pejabat negara, baik legislatif,
eksekutif akan membuat berbagai kesepakatan. Kesepakatan itu baik langsung atau
tidak yaitu dengan jalan dibuatnya undang-undang yang pasti menguntungkan pihak
perusahaan yang membantunya membentuk
proyek-proyek, menghilangkan pembayaran pajak pada pemilik modal tadi, membuat
UU yang menguntungkan pemilik modal yang telah membantunya. Jadi wajar jika
pemerintah tidak lagi menghiraukan suara dan kepentingan rakyat dan malah
mengutamakan pemilik modal, jadi dalam sistem demokrasi kekuasaan berada
ditangan pemilik modal. Pemilik modal yang berkuasa.
Ketika
menjabat selama 5 tahun tentu yang mereka pikirkan adalah bagaimana cara
mengembalikan modal dengan cepat, karena 5 tahun itu sangat singkat untuk
menjabat. Apakah gajinya cukup untuk menutup modal yang keluar selama kampanye?
Jelas tidak. Cara singkatnya adalah korupsi di proyek-proyek atau menerima suap
dari berbagai pihak untuk untuk menggolkan kebijakan yang diiinginkan tanpa
melihat itu menguntungkan rakyat atau tidak, karena pada dasarnya mereka
menjabat sangat tergantung tim suksesnya, yakni pemguasa.
Sebagaimana
fakta diatas kita dapat simpulkan bahwa semua ini adalah permainan demokrasi yang
memaksa calon pejabat negara bermain kotor bahkan menghianati rakyat. Jika
memang tidak salah sistemnya, lantas kenapa partai islam juga terdorong untuk
korupsi? Ketika kita sudah tahu fakta bahwa yang rusak adalah sistemnya, maka
siapapun yang menjadi pejabat negara, baik itu orang alim jika masih
menggunakan sistem yang sama (demokrasi) tidak akan ada perubahan yang lebih
baik, bahkan orang yang baikpun akan menjadi buruk tingkahnya setelah
berkecimpung di dalamnya. Sebagai mahasiswa harapan umat, kita tidak boleh
salah melangkah dalam hal ini, kita harus memiliki pemikiran yang sama bahwa
“tidak ada harapan bila demokrasi diterapkan”. Kesenjangan antara si kaya dan
si miskin akan terus terjadi, pendidikan dan kesehatan mahal, kebijakan
penguasa yang menyiksa rakyat dan tidak ada kesejahteraan dalam hidup.
Satu-satunya
solusi adalah kembali menerapkan syariah Islam dalam bingkai negaranya yakni
Khilafah, sebagaimana yang telah di contohkan oleh Rasul. Sudah saatnya
demokrasi kita gantikan dengan sistem islam. Sebagai mahasiswa kita harus
bergerak cepat untuk menciptakan revolusi karena kita adalah magnet revolusi
yang akan mengetuk panggung revolusi. Tidak ada revolusi dalam sistem, maka
dari itu ciptakan revolusi. Ganti sistem Demokrasi dengan Sistem Islam dengan
KHILAFAH, maka sesungguhnya kesejahteraan yang hakiki akan diperoleh.
Kita
tidak akan selamat di dunia ini bila hukum Allah SWT dicampakkan ! Tidak pula
sejahtera sebelum ide-ide selain Islam dicampakkan! Tidak akan selamat sebuah
negeri bila sistem rusak diadopsi!....