Sabtu, 27 September 2014

Uang Kuliah Tunggal (UKT); Fatamorgana Biaya Kuliah Murah

Bangsa yang maju adalah bangsa yang unggul peradabannya sebab peradaban mencerminkan kualitas kehidupan manusia dalam masyarakat. Salah satu unsur yang penting dalam membangun peradaban adalah adanya upaya pengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan yang bermutu. Maka dari itu, ketersediaan layanan pendidikan berkualitas yang bisa diakses oleh setiap warga masyarakat menjadi sebuah keharusan. Namun, realita yang terjadi jauh dari teori. Selama 68 tahun Indonesia merdeka, kondisi pendidikan negeri katulistiwa ini tak kunjung membaik, terutama masalah mahalnya biaya pendidikan. Bahkan masalah tersebut disinyalir akan semakin parah dengan diberlakukannya kebijakan Biaya Kuliah Tunggal (BKT) dan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mulai tahun akademik 2013/2014 untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN) di Indonesia sesuai dengan PermenDikBud RI No. 55 Tahun 2013.
Gambar : meandbiology.wordpress.com
Sederhananya, UKT adalah sistem pembayaran kuliah di PTN dengan cara meringkas seluruh pembiayaan kuliah dari awal masuk hingga lulus tanpa ada biaya tambahan apapun lagi selama masa perkuliahan yang kemudian dibayarkan hanya dengan 1x pembayaran di tiap semester sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan. Kebijakan UKT ini diberlakukan untuk mahasiswa baru S1 Reguler mulai 2013/2014. Rumus untuk menentukan besaran UKT yakni keseluruhan biaya operasional program studi tertentu di PTN (BKT) dikurangi oleh dana Biaya Operasional PTN (BOPTN) yang diberikan oleh pemerintah pada masing-masing PTN dengan jumlah yang berbeda. PermenDikBud Pasal 5 poin b menyebutkan bahwa keberadaan kebijakan UKT ini adalah untuk meringankan beban biaya mahasiswa. Akan tetapi setelah ditelisik lebih lanjut, kebijakan UKT yang digadang-gadang sebagai solusi biaya kuliah murah hanyalah fatamorgana belaka yang disajikan kepada kita. Hal ini didasarkan pada penjelasan berikut:
Pertama, biaya kuliah tetap mahal bahkan meningkat.
Gambar : tempo.co
Pelaksanaan kebijakan UKT ini merupakan amanat dan implementasi dari UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi yang keberadaannya mengundang kontroversi karena sarat akan kapitalisasi Perguruan Tinggi. Keterkaitan erat antara UKT dan UU PT dibuktikan dengan perumusan penentuan BKT yang dipengaruhi oleh indeks pada pasal 88 ayat 1. Setiap BKT memiliki besaran UKT yang berbeda, ini dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu indeks jenis program studi (K1), Indeks mutu PT (K2) dan Indeks kemahalan wilayah PT (K3). Besarnya BKT ditentukan oleh perhitungan BKT = C x K1 x K2 x K3, dimana C= Rp 5,08 JT = “ BIAYA KULIAH TUNGGAL BASIS” yang dihitung dari data yang ada di PTN. Karena memiliki besaran BKT yang berbeda, maka besanya UKT yang dikeluarkan mahasiswa tiap PTN bahkan jurusan akan berbeda-beda. Jumlah UKT secara keseluruhan bahkan bisa lebih besar dari jenis pembiayaan sebelumnya yang menggunakan sistem uang pangkal.
Sebagai contoh, rata-rata biaya kuliah mahasiswa Fakultas Pertanian di salah satu PTN terkemuka di Jawa Barat hingga selesai adalah sekitar 22 juta rupiah, namun dengan adanya UKT membengkak hingga 60 juta rupiah. Banyak pihak yang terkecoh bahwasanya dengan adanya UKT mereka diuntungkan dengan ketiadaan biaya pangkal diawal sehingga terkesan lebih murah padahal dalam kenyataannya biaya yang mereka bayar sama saja bahkan mahal. Cara boleh beda, tapi komersialisasi pendidikan tetap ada.
Kedua, pendidikan hanya untuk mereka yang memiliki uang.
Gambar : edukasi.kompas.com
Meski besaran UKT disesuaikan dengan golongan penghasilan orang tua, jumlahnya tetap dirasa mencekik dan manisnya pendidikan tetap tak bisa dikecap oleh semua lapisan masyarakat. Bagi kelompok yang sangat miskin (Golongan I), membayar maksimal nominal uang 500 ribu per semester tetap dirasakan sangat mahal. Jumlah mahasiswa yang dimasukkan dalam golongan inipun terbilang sangat sedikit, yakni 5%. Dapat disimpulkan bahwa untuk mengenyam pendidikan berkualitas di PTN, minimal harus memiliki modal 500 ribu per semester. Beruntung bagi mereka yang tak mampu tapi berprestasi bisa mencari celah melalui beasiswa, tapi apa kabarnya mereka yang bisa dikatakan berotak pas-pasan dan uang pun tak punya? Keadaan ini berbanding terbalik dengan amanat Konstitusi, “Semua warga negara memiliki kesempatan untk mengenyam pendidikan..”
Ketiga, kebijakan yang tidak adil.
Kebutuhan setiap jurusan berbeda tergantung akan kegiatan pembelajaran. Misalkan, jurusan medis dan kesehatan seperti Kedokteran tentu akan lebih mahal dari jurusan sastra seperti Sastra Indonesia. Dengan adanya UKT, biaya kuliah Kedokteran memang menjadi lebih murah, namun tak banyak yang menelusuri bahwa hal tersebut dikarenakan tambal sulam pembiayaan. Kekurangan biaya suatu jurusan akan ditambal dengan menaikkan biaya di jurusan lain yang sebenarnya biaya pendidikannya lebih murah.
Selain itu, dengan adanya pengelompokkan tingkat kemampuan orang tua mahasiswa, otomatis setiap mahasiswa harus membayar jumlah yang berbeda dengan fasilitas yang sama. Ini tidak adil bagi ‘si kaya’. Mereka terus dibebani untuk membiayai pendidikan orang lain yang seharusnya ditanggung oleh negara karena merupakan kewajibannya. Tapi sangat disayangkan, slogan ‘subsidi silang bagi yang tak mampu’ membuat kebanyakan dari mereka tidak sadar bahwa mereka sedang dimanfaatkan oleh penguasa.
Keempat, menguatkan sifat individualis.
Termakan slogan “harga menentukan kualitas”, secara tak sadar banyak orang yang menganggap wajar tatkala semakin berkualitas pendidikan yang ingin dicapai, maka semakin mahal pula harga yang harus dibayar. Standar berkualitasnya pun hanya berdasar materi; nilai yang bagus, pekerjaan menjanjikan dan gaji besar. Hidup dalam era kapitalisme membuat semua orang bersaing secara ketat demi materi; yang beruang menang, tak beruang angkat kaki. Pemahaman ini tertancap kuat dalam benak pikiran dan pada akhirnya menguatkan sifat individualis; hanya mementingkan keselamatan diri sendiri tanpa memikirkan orang selain. Mereka lupa bahwa pendidikan adalah hak dasar manusia yang seharusnya bisa diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa melihat kasta kekayaan.
Dari penjelasan di atas, pasti timbullah sebuah tanda tanya besar, “Jika pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap warga negara dan dalam upaya pengusahaannya pun memang meniscayakan biaya yang tidak murah, lantas ini adalah kewajiban dan tanggung jawab siapa?”.
Secara teori, hal tersebut adalah kewajiban dan tanggung jawab negara dalam hal ini pemerintah. Namun sayang, yang terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalis sekarang ini adalah sebaliknya. Berawal dari asas sekularisme yang meniadakan peran agama dalam ranah publik, maka diberlakukanlah sistem politik demokrasi dan sistem ekonomi kapitalistik sebagai sistem kehidupan. Celakanya, sistem ini menjadi sumber petaka karena menjadikan hawa nafsu manusia sebagai sumber aturan.
Demokrasi –dengan asas kebebasan kepemilikannya- dan kapitalisme -dengan mindset segala sesuatu harus menghasilkan uangnya- kemudian meliberalisasi sektor pendidikan menjadi komoditas bisnis. Pendidikan tidak lagi dikelola dengan prinsip sosial melainkan dengan prinsip komersil yang berimplikasi pada mahalnya biaya pendidikan, hal ini dapat jelas terlihat dengan pemberlakuan konsep otonomi kampus pada pasal 65 ayat 1 UU PT mengenai pengelolaan PT yang harus mengikuti konsep Badan Layanan Umum (BLU)/dengan membentuk PTN Badan Hukum. Pemerintah yang seharusnya berperan besar, fungsinya dikebiri hanya sebatas fasilitator dan regulator saja sebab terkalahkan oleh kepentingan bisnis. Hal tersebut merupakan dampak perjanjian yang telah diratifikasi negara anggota World Trade Organization (WTO) -Indonesia masuk didalamnya- tentang General Agreement on Trade in Services (GATS) yang akan melaksanakan rencana industrialisasi dan kapitalisasi dunia pendidikan.
Dari sinilah terlihat bahwa selama kita bersandar pada sitem yang menjadikan semua aspek kehidupan sebagai sumber keuntungan, termasuk pendidikan, maka selama itu pula lah biaya kuliah murah menjadi fatamorgana dan mirisnya dunia pendidikan kita tetap terpuruk.
Berbeda halnya jika yang diterapkan adalah sistem Islam. Islam memandang bahwa mencari ilmu adalah sebuah kewajiban bagi setiap Muslim. Islam pun memandang pendidikan adalah salah satu dari 3 kebutuhan pokok masyarakat yang wajib dipenuhi selain kesehatan dan keamanan. Maka dari itu suatu hal yang mutlak bagi negara dengan sistem Islam untuk menyediakan layanan pendidikan berkualitas secara cuma-cuma untuk setiap warga negaranya. Strategi pelayanan pun harus mengacu pada 3 aspek, yakni kesederhanaan aturan, kecepatan memberikan pelayanan, dan dilaksanakan oleh individu yang mampu dan profesional. Islam menjelaskan sumber pemasukan, mekanisme, dan alur pembiayaan yang jelas untuk setiap sektor, termasuk sektor pendidikan yang tentunya membutuhkan biaya besar.
Dengan pemberlakuan sistem ekonomi Islam yang membedakan jenis-jenis kepemilikan barang, maka potensi SDA yang begitu melimpah, seperti tambang, minyak, gas, dll yang dikategorikan milik rakyat, mampu digunakan sebagai sumber pemasukan yang mencukupi bagi sektor pendidikan; bukan malah diliberalisasi dan dijual kepada asing seperti yang terjadi dalam sistem demokrasi-kapitalisme sekarang. Jika sumber-sumber pemasukan yang telah ditentukan ternyata diluar dugaan tidak mencukupi dan dikhawatirkan akan timbul efek negatif jika terjadi penundaan pembiayaannya, negara bahkan sampai diharuskan mencukupinya dengan cara berhutang. Hutang dilunasi oleh negara dengan dana dari pajak yang dipungut dari kaum muslimin terutama dari laki-laki muslim kaya. (Al-Maliki, 1963).
Meski pembiayaan pendidikan merupakan kewajiban negara, namun Islam tidak melarang inisiatif rakyat, baik individu/swasta, untuk turut berperan serta dalam memajukan dunia pendidikan, seperti dengan cara mewakafkan hartanya untuk pembangunan infrastruktur dan penyediaan sarana dan prasarana kegiatan pembelajaran. Namun keberadaan peran individu/swasta tersebut diposisikan sebagai peran sekunder dan tidak dibenarkan melebihi peran negara karena dikhawatirkan akan terjadi pelalaian tanggung jawab dan fungsi pemerintah terhadap pelayanan pendidikan masyarakat. Pengelolaan pelayanan pendidikan yang didasari keimanan kepada Allah disertai seperangkat aturan hukum yang bersifat jera akan membuat individu yang pengelolanya amanah, anti korupsi, dan tidak boros.
Mekanisme Islam yang komprehensif di berbagai bidang ini –pendidikan, ekonomi, politik, dll- hanya bisa diimplementasikan jika sistem Islam diwujudkan secara keseluruhan sebagai sistem yang mengatur kehidupan, yakni dalam sebuah institusi Khilafah. Berkaca pada sejarah, dengan Khilafah, mencetak SDM unggul bertaraf internasional dan mewujudkan sebuah peradaban yang mahsyur dan gemilang bukan lagi sekedar mimpi, namun pasti. 
(sumber: http://rabiula.wordpress.com/2013/08/29/uang-kuliah-tunggal-fatamorgana-biaya-kuliah-murah/)

0 komentar:

Posting Komentar